“Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” – Nelson Mandela.
Tapi… bagaimana kalau senjata itu bisa kita ciptakan sendiri, di rumah?
Banyak orang tua mulai mempertanyakan sekolah formal dan beralih ke metode alternatif seperti Montessori.
Tapi… bisa nggak sih Montessori dilakukan di rumah? Jawabannya: bisa banget, asal tahu caranya.
Siap ubah rumah jadi tempat belajar yang menyenangkan? Yuk mulai!
Apa itu Metode Montessori?
Pertama kali mendengar istilah “Montessori,” saya sempat mengira itu sebentuk nama mainan mahal dari luar negeri. 😅
Tapi setelah anak saya mulai kesulitan fokus di sekolah dan saya mulai mencari alternatif pendidikan yang lebih “anak banget,” barulah saya menemukan konsep Montessori ini.
Dan ternyata… ini bukan soal alat-alatnya, tapi soal cara berpikirnya.
Metode Montessori dikembangkan oleh Dr. Maria Montessori, seorang dokter anak asal Italia, yang di awal 1900-an mencoba mengajar anak-anak dari keluarga miskin di Roma.
Alih-alih menggunakan sistem belajar tradisional yang serba kaku, dia memberikan kebebasan pada anak-anak untuk belajar sesuai minat dan ritme mereka sendiri.
Hasilnya mengejutkan, anak-anak yang sebelumnya dianggap susah belajar malah menunjukkan kemajuan pesat.
Filosofi dasarnya sangat sederhana, tapi powerful: kemandirian, kebebasan yang terbimbing, dan lingkungan yang disiapkan secara sadar.
Ini bukan berarti anak dilepas begitu saja, tapi lebih ke memberikan ruang dan kepercayaan pada anak untuk mengeksplorasi sendiri dalam batas yang aman.
Dan yang menarik, anak-anak justru senang saat diberi tanggung jawab kecil, seperti menuang air ke gelas sendiri atau merapikan mainan, yang kelihatannya remeh, tapi membuat mereka merasa “aku bisa!”
Saya benar-benar tertarik karena Montessori sangat berbeda dari sistem pendidikan konvensional.
Di sekolah biasa, umumnya anak-anak duduk diam, mendengarkan guru, lalu mengerjakan tugas yang sama.
Sementara dalam Montessori, anak boleh memilih aktivitas yang sesuai minatnya dan belajar dalam ritme yang sesuai dengan dirinya sendiri.
Salah satu momen yang tak akan saya lupakan adalah saat anak saya (waktu itu usia 4 tahun) sibuk memindahkan kacang merah dari satu mangkuk ke mangkuk lain sambil berkata: “Saya kerja kayak Mama.”
Hal yang saya pelajari adalah: lingkungan itu penting banget.
Dalam metode Montessori, rumah atau ruang belajar harus disiapkan dengan baik agar anak bisa belajar secara mandiri.
Perabot yang sesuai tinggi anak, rak terbuka, alat-alat belajar yang bisa mereka ambil sendiri, semua itu memberi sinyal bahwa “tempat ini milik saya, dan saya bisa belajar di sini.”
Awalnya saya pikir ribet, tapi setelah saya mulai menata ulang ruang bermain, anak saya jadi lebih fokus dan nggak cepat bosan.
Tentu saja, saya juga sempat salah kaprah. Di awal, saya semangat membeli alat-alat Montessori mahal yang katanya “wajib punya.”
Tapi kemudian saya sadar, alat itu cuma pelengkap. Yang utama justru adalah sikap orang tua: sabar, percaya, dan memberi ruang.
Kalau Anda bertanya, Montessori cocok untuk siapa?
Saya akan bilang: untuk orang tua yang ingin anaknya tumbuh mandiri, percaya diri, dan senang belajar.
Tapi ya, butuh komitmen. Dan kadang… perlu menahan diri untuk tidak buru-buru membantu anak, dan ini justru menjadi tantangan terbesar saya. 🙈
Apakah Montessori Bisa Diterapkan di Rumah?
Jawabannya? Bisa banget. Tapi… ya pastinya nggak akan semulus yang dibayangkan. 😅
Saya pribadi awalnya agak skeptis. Saya pikir Montessori hanya cocok diterapkan di sekolah khusus, dengan guru bersertifikat dan alat-alat kayu mahal yang bentuknya artistik banget.
Tapi setelah banyak baca, dan coba pelan-pelan di rumah, saya mulai paham kalau prinsip Montessori itu sangat bisa diterapkan di lingkungan rumah biasa, bahkan yang sempit sekalipun.
Yang penting bukan seberapa besar ruangannya, tapi seberapa disiapkan ruangan tersebut untuk mendorong anak belajar mandiri.
Tantangannya? Tentu ada. Yang pertama: konsistensi.
Di rumah, kita nggak punya “jam belajar resmi.” Jadi awalnya sulit untuk membentuk rutinitas.
Anak saya malah sering minta main tablet, bukannya mengerjakan aktivitas Montessori yang sudah disiapkan. 🤦♀️
Tapi setelah saya atur ulang jadwal, dan mulai dengan aktivitas yang dia suka (misalnya menuang air atau menyendok biji-bijian), pelan-pelan anak mulai antusias.
Kelebihannya juga banyak. Anda bisa benar-benar melihat perkembangan anak dari dekat.
Misalnya, saya jadi tahu bahwa anak saya ternyata senang banget dengan kegiatan praktis seperti menyapu atau melipat kain.
Hal-hal seperti ini jarang terlihat kalau mereka terus disuruh duduk diam mengerjakan worksheet.
Saya pernah membaca studi kasus dari seorang ibu di Bandung yang menerapkan homeschooling Montessori untuk dua anaknya.
Rumahnya kecil, tapi dia menyulap sudut ruang tamu jadi “zona belajar.”
Setiap pagi, anak-anak memilih sendiri aktivitas dari rak terbuka, mulai dari puzzle, permainan angka, sampai meronce manik-manik.
Sekarang anaknya yang usia 6 tahun sudah bisa membaca dan berhitung dasar tanpa dipaksa.
Semuanya berdasarkan minat, bukan tekanan.
Usia ideal memulai Montessori di rumah sebenarnya adalah sejak bayi.
Tapi jangan stres kalau Anda baru mulai saat anak sudah 3 atau 4 tahun, it’s never too late.
Anak saya baru mulai dikenalkan metode ini secara serius saat usianya hampir 5 tahun, dan tetap nyambung.
Kuncinya adalah mengikuti ritme anak, bukan ngotot ngejar kurikulum.
Saran saya: mulailah dari kebiasaan harian. Biarkan anak pakai sendok sendiri, pilih baju sendiri, atau membantu merapikan mainan.
Melakukan itu semua sudah merupakan bagian dari pendidikan Montessori.
Anda nggak perlu alat mahal atau ruangan luas, yang Anda butuhkan adalah waktu, kesabaran, dan kepercayaan bahwa anak bisa.
Dan percayalah, saat pertama kali melihat wajah bangga anak Anda karena mampu menyelesaikan tugas kecil sendirian…rasanya priceless. 💛
Persiapan Awal: Lingkungan Montessori di Rumah
Jangan lakukan kesalahan yang saya lakukan waktu awal belajar Montessori: terlalu fokus beli alat, lupa siapkan lingkungannya. 😅
Padahal inti dari metode ini bukan mainan canggih, tapi bagaimana kita menciptakan prepared environment, atau lingkungan belajar yang bikin anak merasa aman dan mandiri.
Saya dulu berpikir, ya udahlah, main aja di ruang tamu.
Di Montessori, ada konsep yang dinamakan prepared environment, dan dari situ saya ngerti kenapa anak cepat bosan, gampang ngamuk, dan nggak fokus.
Konsep prepared environment itu sederhana tapi powerful.
Kita menyiapkan ruang yang sesuai ukuran dan kebutuhan anak agar mereka bisa melakukan aktivitas tanpa tergantung pada orang dewasa.
Misalnya, letakkan rak mainan setinggi dada anak agar mereka bisa ambil dan kembalikan sendiri.
Meja kecil, sendok kecil, bahkan cermin yang mereka bisa lihat, sehingga semua memberi sinyal: “Ini ruangku. Aku bisa belajar di sini.”
Di Indonesia, banyak kok perabot dan alat Montessori yang gampang ditemukan, bahkan di pasar tradisional atau toko perabot biasa.
Saya sendiri pakai rak kayu dari Informa, sendok kecil beli di toko serba 10 ribuan, dan nampan plastik dari IKEA.
Nggak harus serba estetik, yang penting fungsional dan sesuai ukuran anak.
Saya juga punya beberapa alat Montessori buatan sendiri:
- Botol sensorik dari botol bekas dan glitter
- Kotak buka-tutup pakai kancing dan resleting
- Kegiatan menyendok menggunakan kacang hijau dan dua mangkuk
Dan ini penting: decluttering. Saya sempat pusing lihat anak lompat-lompat dari satu mainan ke mainan lain, semua dibuka, tapi nggak ada yang dimainkan lama.
Ternyata masalahnya… terlalu banyak pilihan. 😅
Setelah saya simpan sebagian mainan dan hanya menaruh 5-6 aktivitas di rak terbuka, anak saya jadi jauh lebih fokus.
Bahkan, dia main lebih lama tanpa saya harus ikut campur.
Tips dari saya buat Anda yang baru mulai:
- Pilih satu sudut ruangan yang terang dan tenang (nggak harus kamar khusus)
- Pakai rak terbuka rendah, bukan kotak besar bertumpuk
- Simpan mainan atau alat bantu di nampan atau wadah terpisah
- Gunakan bahan-bahan alami kalau bisa (kayu, kain, logam), tapi nggak wajib
- Lakukan rotasi mainan tiap 1–2 minggu supaya anak nggak bosan
Ingat ya, Montessori bukan tentang bikin rumah seperti sekolah internasional.
Ini tentang menghormati anak sebagai individu, dan menciptakan ruang yang mendukung rasa ingin tahunya.
Jangan tunggu punya ruangan khusus atau perabot mahal.
Sudut ruang tamu bisa jadi ruang Montessori asal disiapkan dengan niat dan perhatian.
Aktivitas Montessori Harian Sesuai Usia Anak
Salah satu pertanyaan paling sering saya dapat dari teman-teman yang baru mulai Montessori di rumah adalah: “Harus ngapain aja sih tiap hari?”
Dan saya pun dulu mikir begitu. 😅
Saya sempat merasa panik karena ngerasa belum punya “rencana belajar harian” untuk anak.
Ternyata… nggak harus ribet. Montessori justru ngajarin kita buat mengikuti minat dan usia anak, bukan maksa mereka ikut jadwal kaku.
Jadi, saya mulai menyusun aktivitas harian berdasarkan usia perkembangan, bukan berdasarkan buku teks.
Usia 0–3 Tahun: Sensorik, Motorik Halus, Kegiatan Praktis
Di usia ini, anak butuh eksplorasi dunia dengan indera dan gerakan.
Jangan berharap mereka duduk manis ya,mereka lagi pengen pegang, lempar, jilat, dan remas semuanya. 😆
Aktivitas favorit anak saya dulu:
- Menyendok kacang hijau dari satu mangkuk ke mangkuk lain (motorik halus)
- Mengisi botol plastik dengan beras (sensorik)
- Buka-tutup botol dengan berbagai ukuran
- Tuang air dari teko kecil ke gelas mini (dan tumpah? Ya wajar)
- Masukkan benda sesuai bentuk ke lubang kardus
Yang penting, jangan terlalu bantuin.
Saya dulu sering nggak sabaran dan langsung bantu anak saat dia kesusahan.
Padahal di Montessori, struggle itu bagian dari belajar.
Usia 3–6 Tahun: Bahasa, Matematika Dasar, Kehidupan Sehari-Hari
Nah, usia ini mulai seru. Anak mulai bisa diajak ngobrol, berpikir logis, dan belajar lewat kegiatan kehidupan nyata.
Aktivitas yang saya pakai di rumah:
- Huruf pasir buatan sendiri dari karton dan amplas (untuk mengenal fonik)
- Kartu angka dan biji kacang merah (untuk hitung konkret 1–10)
- Menyapu lantai dengan sapu kecil
- Melipat kain kecil (handuk atau lap dapur)
- Mengelompokkan benda berdasarkan warna atau bentuk
- Menyusun jadwal harian pakai gambar
Saya bikin jadwal pagi: 1 aktivitas kehidupan sehari-hari, 1 aktivitas bahasa atau angka, lalu bebas main.
Durasi? Nggak sampai 2 jam total. Sisanya… eksplorasi bebas.
Usia 6+ Tahun: Eksplorasi Sains, Geografi, Project-Based Learning
Kalau anak Anda sudah masuk usia SD, pilihan aktivitas Montessori jadi makin beragam.
Anak mulai tertarik pada dunia luar, mulai dari planet, negara, sampai eksperimen sederhana.
Yang saya lakukan:
- Eksperimen sederhana kayak membuat pelangi dari air dan senter
- Menggambar peta Indonesia dan menempel bendera daerah
- Menanam kacang hijau dan bikin jurnal pertumbuhan
- Project mini: membuat “restoran sendiri” di rumah (bikin menu, harga, dan masak bareng)
Di usia ini, anak juga bisa nanya terus.
Jadi saya simpan buku-buku ensiklopedia anak di rak bawah agar dia bisa ambil sendiri kalau penasaran.
Cara Membuat Aktivitas Montessori dari Bahan Bekas
Saya nggak selalu punya budget buat beli alat-alat Montessori yang fancy.
Jadi, saya sering bikin sendiri pakai barang bekas di rumah.
Beberapa ide:
- Kotak sensorik dari kardus sepatu diisi pasir, biji, atau potongan kain
- Kartu huruf dari tutup botol dan stiker huruf
- Menyortir tutup botol warna-warni pakai penjepit es
- “Busy board” dari papan triplek, dipasang resleting, kancing, kait pintu, dan saklar lampu
- Botol tenang (calm bottle) dari botol plastik, air, glitter, dan lem
Yang penting bukan “keren nggaknya,” tapi apakah aktivitas itu memberi anak ruang untuk mencoba, gagal, dan mengulang.
Montessori tuh tentang proses, bukan hasil.
Percaya deh, Anda nggak butuh alat mahal atau worksheet bertumpuk.
Cukup satu mangkuk, sendok kecil, dan keinginan belajar bareng anak, dan itu udah Montessori banget.
Kalau Anda bingung mau mulai dari mana, pilih aja 1 aktivitas dari daftar di atas dan coba besok pagi.
Lihat reaksi anak. Kalau mereka tersenyum, fokus, dan bilang “lagi!”, itu artinya Anda di jalur yang tepat. 💛
Peran Orang Tua dalam Montessori Rumah
Ngajarin anak ternyata bukan sekedar asal ngajar.
Bukan sebatas duduk bareng, kasih tahu A sampai Z, terus anak nyimak.
Dalam Montessori, orang tua bukan guru dalam arti tradisional, tapi fasilitator.
Tugas kita bukan mengisi otak anak dengan informasi, tapi menyiapkan lingkungan dan pengalaman yang bikin mereka penasaran, mencoba sendiri, dan belajar karena ingin, bukan karena disuruh.
Saya inget banget waktu pertama kali saya nyiapin aktivitas menuang air ke gelas kecil.
Saya udah semangat, udah siapkan teko kecil, air, dan gelas plastik.
Tapi pas anak mulai, saya malah refleks ngomel, “Eh hati-hati, jangan tumpah!”, dan dia langsung berhenti, takut.
Waktu itu saya sadar: saya terlalu kontrol, dan bukan membimbing dengan kebebasan.
Kebebasan terbimbing itu tricky. Kita kasih anak pilihan, tapi tetap dalam batasan. Misalnya:
- “Kamu bisa pilih aktivitas dari rak ini, tapi hanya satu dulu ya.”
- “Kamu boleh tuang air sendiri, tapi di meja ini, pakai lap ini kalau tumpah.”
- “Mau pakai baju yang ini atau yang itu?”
Dengan cara itu, anak tetap merasa punya kontrol, tapi kita tetap arahkan supaya prosesnya aman dan produktif.
Ini bukan kebebasan mutlak, tapi kebebasan yang sadar dan bertanggung jawab.
Tapi ya… saya juga bikin banyak kesalahan di awal. Dan itu normal.
Beberapa kesalahan umum orang tua saat mencoba Montessori di rumah, yang juga pernah saya alami:
- Terlalu cepat membantu: begitu anak kesulitan, langsung dibantuin. Padahal struggle itu bagian dari proses belajar.
- Menyediakan terlalu banyak pilihan: akhirnya anak bingung dan malah nggak fokus.
- Nggak konsisten: hari ini semangat, besok lupa, lusa balik ke cara lama. Ini bikin anak bingung.
- Terlalu fokus ke alat: saya dulu sempat “lapar alat”, beli ini itu, padahal anak lebih butuh waktu saya, bukan alat mahal.
Yang saya pelajari, peran kita sebagai orang tua dalam Montessori bukan jadi penguasa yang ngatur segalanya, tapi jadi pendamping setia yang siap buka jalan, lalu mundur sedikit biar anak bisa lewat sendiri.
Kadang itu artinya melihat mereka gagal, tumpahin air, atau ambil waktu 15 menit hanya buat masang resleting.
Tapi di situlah mereka belajar.
Tips Praktis Memulai Montessori di Rumah
Kalau Anda merasa overwhelmed liat Pinterest penuh alat Montessori dan ruang estetik yang kayak dari showroom IKEA… tenang, saya juga pernah ngerasa gitu. 😅
Tapi setelah menjalani, saya belajar satu hal penting: Montessori itu soal pola pikir, bukan dekorasi.
Kuncinya adalah: mulai dari rutinitas dan kebiasaan kecil.
Jangan langsung mikir bikin jadwal kayak sekolah.
Anak itu belajar dari apa yang mereka lakukan berulang-ulang, bukan dari yang kita ceramahi tiap hari.
Contohnya:
- Biarkan anak menyikat gigi sendiri, walau hasilnya belum maksimal.
- Ajak anak merapikan piring setelah makan, satu langkah kecil tapi konsisten.
- Ajarkan cara membuka dan menutup kotak makan tanpa dibantu.
- Latih anak memilih baju sendiri tiap pagi (beri dua pilihan ya, bukan satu lemari 😄)
Semua itu adalah aktivitas Montessori. Sederhana, tapi penuh makna.
Jadwal Harian Montessori Versi Fleksibel
Banyak yang nanya ke saya: “Gimana cara bikin jadwal Montessori di rumah?”
Jawabannya: fleksibel banget. Saya pribadi bukan tipe yang bikin jam-jam kaku.
Tapi saya tetap punya kerangka harian biar anak paham rutinitas.
Contoh jadwal harian kami:
- 08.00 – 09.00: Aktivitas praktis hidup (menuang air, menyapu, lipat kain)
- 09.00 – 09.30: Aktivitas bahasa atau angka (pakai kartu, puzzle, atau DIY)
- 09.30 – 10.30: Main bebas (indoor/outdoor, eksplorasi bebas)
- 11.00 – 12.00: Bantu persiapan makan siang (set meja, cuci tangan, dll)
- 13.00 – 14.00: Baca buku bersama atau nap time
Fleksibel ya, nggak harus pas. Kadang aktivitas cuma 10 menit, kadang anak betah 45 menit nyendokin biji jagung.
Intinya, kita kasih alur, bukan paksaan.
5 Hal yang Bisa Dilakukan Hari Ini Juga
Mau mulai hari ini juga? Nih, saya kasih 5 hal praktis yang bisa langsung Anda lakukan (tanpa beli alat baru!):
- Turunkan rak mainan anak – biar bisa ambil dan kembalikan sendiri.
- Pisahkan 5 aktivitas ke dalam nampan atau wadah kecil. Jangan semua dicampur.
- Ajak anak bantu tuang air minum sendiri – dari teko kecil ke gelasnya.
- Berikan pilihan terbatas – seperti “Mau pakai baju biru atau merah?”
- Lepas tangan Anda sedikit – biarkan mereka mencoba sendiri meskipun lambat (dan berantakan 😅)
Percaya deh, begitu Anda lihat anak mulai “menguasai” hal-hal kecil dengan rasa percaya diri… Anda akan ketagihan ngelanjutin Montessori di rumah.
Saya sendiri awalnya cuma coba satu aktivitas per hari, dan sekarang malah anak yang minta terus eksplorasi baru.
Kadang saya nggak siap, tapi ya itu serunya. Montessori ngajarin kita sebagai orang tua buat juga ikut belajar.[]