• Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Home
  • About
Ibu Juara

Ibu Juara

Tips Kehamilan & Parenting

Main dan Belajar: 7 Aktivitas Edukatif di Rumah Tanpa Gadget

IbuJuara.com - Tips Kehamilan & Parenting

“Anak zaman sekarang nggak bisa lepas dari gadget!”

Pernah dengar kalimat ini? Atau justru Anda sendiri yang mengalaminya di rumah?

Menurut data UNICEF, anak-anak usia dini di Asia menghabiskan lebih dari 3 jam per hari menatap layar gadget (gawai), padahal screen time yang sehat sebaiknya hanya 1 jam saja!

Sebagai orang tua, pasti ingin yang terbaik buat anak. Tapi gimana caranya bikin anak tetap belajar dan berkembang tanpa harus disuapin layar terus-menerus?

Nah, artikel ini hadir sebagai solusi dengan menyajikan aktivitas edukatif yang bisa Anda lakukan bareng anak di rumah, yang seru, murah, dan pastinya bebas gadget!

Table of Contents

Toggle
  • Kenapa Anak Butuh Aktivitas Tanpa Gadget?
  • 1. Bermain Peran (Role Play) dengan Barang Sehari-Hari
  • 2. Eksperimen Sains Sederhana di Dapur
  • 3. Kegiatan Motorik Halus: Meronce atau Menjahit Kertas
  • 4. Membuat Kerajinan Tangan dari Barang Bekas
  • 5. Berkebun Mini di Rumah
  • 6. Permainan Edukatif Seperti Ular Tangga dan Tebak Kata
  • 7. Bercerita dan Membuat Buku Sendiri

Kenapa Anak Butuh Aktivitas Tanpa Gadget?

Saya pernah mengalami masa di mana anak saya susah banget lepas dari layar.

Jangankan main bareng, lima menit tanpa tablet aja udah bikin dia gelisah.

Anak-anak zaman sekarang kan memang hidupnya udah “digital”, jadi awalnya saya pikir itu hal biasa.

Tapi setelah paham lebih dalam dan lihat sendiri dampaknya, saya mulai khawatir.

Waktu itu saya coba observasi. Dalam sehari, anak saya bisa screen time lebih dari 4 jam. Itu belum termasuk nonton TV.

Hasilnya? Tidurnya jadi susah, gampang tantrum, dan anehnya… kemampuan motoriknya malah nggak berkembang seperti anak-anak seusianya.

Ternyata, menurut American Academy of Pediatrics, screen time berlebihan bisa mengganggu perkembangan otak, menurunkan kemampuan fokus, bahkan menghambat keterampilan sosial.

Dan ya, saya menyaksikan semua itu sendiri.

Akhirnya saya sadar, anak butuh lebih dari sekadar hiburan visual.

Mereka butuh stimulasi fisik, melompat, berlari, menyusun balok.

Mereka butuh motorik halus yang berkembang lewat kegiatan seperti menggambar, meronce, atau membuka tutup botol.

Bahkan yang kelihatannya remeh kayak menuang air dari gelas ke gelas itu penting banget buat koordinasi tangan-mata.

Yang nggak kalah penting: interaksi sosial langsung.

Anak belajar empati, giliran, kompromi, dan bahkan rasa malu, semua itu muncul dari interaksi nyata, bukan lewat karakter di layar.

Gadget bisa jadi alat bantu belajar, iya. Tapi bukan pengganti pelukan, obrolan, atau tawa bareng keluarga.

Saya nggak bilang gadget itu jahat, kok. Saya juga manusia, kadang saya kasih tontonan YouTube supaya saya bisa masak atau mandi.

Tapi sekarang saya pakai aturan: maksimal 1 jam per hari, dan sisanya? Ya main bareng.

Kadang kami bikin tenda dari selimut, kadang main peran jadi dokter dan pasien.

Saya capek? Banget. Tapi saya lihat anak saya jauh lebih tenang dan ekspresif sekarang.

Kalau Anda juga merasa anak mulai terlalu tergantung pada layar, mungkin ini saatnya pelan-pelan alihkan mereka ke aktivitas tanpa gadget.

Nggak harus ribet, kok, yang penting konsisten dan hadir.

Karena kehadiran dan keterlibatan nyata dari orang tua yang membentuk karakter anak, bukan aplikasi dari gadget.

1. Bermain Peran (Role Play) dengan Barang Sehari-Hari

Suatu hari anak saya tiba-tiba menyodorkan sendok dan bilang, “Ini suntikan, Mama sakit ya?”

Waktu itu saya cuma ketawa, tapi kemudian ikut main, ternyata seru juga!

Yang lebih penting, saya lihat dia jadi aktif ngomong, berimajinasi, dan bahkan belajar empati dengan caranya sendiri.

Biasanya kami pakai barang-barang seadanya di rumah.

Bantal jadi meja, kardus jadi mobil ambulans, sendok jadi termometer.

Kalau mau bikin pasar-pasaran, kami pakai kancing baju buat uang, dan botol-botol kosong sebagai etalase.

Nggak ada yang perlu beli. Asal kita kreatif sedikit, semuanya bisa jadi alat main.

Sering juga dia minta saya jadi “ibu-ibu yang belanja” dan dia jadi tukang sayur.

Percakapan kayak gitu kelihatannya sepele, tapi sebenarnya dia lagi belajar bahasa, konsep transaksi, bahkan negosiasi.

Saya juga pernah lihat dia main sendiri dan menyusun adegan ala drama.

Dia bikin cerita, ngatur alur, bahkan nyelipin konflik kecil kayak “Ada yang lupa bayar!”

Itu menurut saya keren banget, karena dia sedang melatih kemampuan problem solving.

Permainan ini juga jadi momen bonding antara saya dan anak.

Kadang saya ikut jadi pasien, kadang dia yang pura-pura jadi guru dan saya muridnya.

BACA JUGA:  Menerapkan Metode Montessori di Rumah: Bisa Nggak Sih?

Lewat role play, dia jadi lebih ekspresif. Anak saya yang awalnya pemalu, sekarang bisa cerita panjang lebar dan berani ngomong di depan orang lain.

Buat Anda yang merasa anak terlalu pasif karena gadget, coba deh mulai dari yang simpel.

Nggak usah nunggu punya mainan mahal.

Ambil kardus bekas, sendok plastik, atau sarung, lalu ajak anak bikin cerita bareng.

Nggak perlu naskah, imajinasi anak-anak itu luar biasa.

Dan yang lebih penting, mereka merasa dilibatkan. Mereka merasa penting.

Dari pengalaman saya, main peran itu bukan cuma hiburan, tapi alat belajar paling lengkap.

Anak belajar bicara, mengatur alur, memahami emosi, dan berinteraksi.

Semua itu tanpa mereka merasa sedang belajar. Mereka merasa sedang bersenang-senang. Dan itulah kuncinya.

2. Eksperimen Sains Sederhana di Dapur

Saya masih ingat betul wajah anak saya waktu “gunung buatan” di dapur tiba-tiba mengeluarkan lava busa oranye, matanya melotot, mulut terbuka, lalu teriak, “Wow, meletus, Ma!”

Itu momen yang nggak cuma bikin dapur berantakan, tapi juga bikin saya paham anak-anak bisa banget belajar sains dengan cara yang seru.

Eksperimen pertama kami adalah gunung meletus dari baking soda dan cuka.

Saya ambil gelas plastik, kasih adonan tanah liat warna cokelat di luarnya biar mirip gunung, lalu masukin baking soda, sabun cair, pewarna makanan merah, dan terakhir… tuang cuka.

Hasilnya? “Lava” meletus pelan-pelan, berbuih dan mengalir ke meja.

Anak saya histeris senang. Saya? Histeris juga… karena meja jadi lengket semua 😅 Tapi it’s worth it!

Lewat eksperimen itu, anak saya jadi mulai nanya: “Kenapa bisa keluar busa?”

Saya jelaskan singkat: baking soda dan cuka kalau dicampur bakal bikin gas yang namanya karbon dioksida.

Saya pakai bahasa sederhana banget, nggak mikirin rumus.

Yang penting, dia belajar konsep reaksi kimia dasar tanpa merasa sedang “sekolah”.

Sejak itu, kami coba banyak eksperimen lain.

Buat pelangi dari permen warna-warni, bikin telur bisa “melompat” setelah direndam cuka, sampai coba “magic milk” pakai sabun dan pewarna.

Semua bahan dari dapur, dan nggak ada yang mahal.

Anak-anak itu punya rasa ingin tahu alami, dan tugas kita bukan ngasih semua jawaban, tapi mancing rasa penasaran itu supaya tumbuh.

Saya juga lihat perubahan nyata: anak saya jadi lebih banyak nanya “kenapa”, lebih sabar menunggu hasil, dan lebih berani mencoba.

Logika ilmiahnya mulai kebentuk dari hal-hal kecil.

Bahkan saat gagal pun, seperti saat eksperimen “telur terbang” kami yang gagal total, dia tetap semangat.

Katanya, “Nggak apa-apa, besok coba lagi.”

Kalau Anda ingin anak belajar sambil main, coba mulai dari dapur.

Nggak harus ngerti kimia dulu, cukup punya niat main bareng dan tahan sedikit dengan dapur berantakan.

Karena dari situ, Anda sedang membangun fondasi berpikir ilmiah dan rasa ingin tahu yang akan kepake seumur hidup.

3. Kegiatan Motorik Halus: Meronce atau Menjahit Kertas

Saya sempat khawatir saat anak saya masih susah pegang pensil dengan benar.

Umurnya udah 4 tahun, tapi cara dia menggenggam krayon masih kayak bayi.

Saya menganggap mungkin dia kurang latihan atau memang belum waktunya.

Setelah lebih paham, ternyata tangan kecil mereka butuh “olahraga khusus” supaya kuat dan terampil.

Salah satu aktivitas paling sederhana (dan jujur aja, menyenangkan juga buat saya) adalah meronce.

Kami pakai apa aja yang ada, manik-manik sisa gelang rusak, potongan sedotan warna-warni, bahkan pasta makaroni kering!

Saya kasih dia tali sepatu bekas, dan tugasnya cuma satu: masukkan satu per satu benda itu ke tali.

Awalnya dia kesulitan. Tangannya gemetaran, fokusnya pecah, dan kadang frustrasi.

Tapi saya dampingi pelan-pelan. Setelah seminggu, dia mulai lebih cepat, lebih percaya diri.

Yang paling kelihatan: koordinasi tangan-matanya meningkat drastis.

Setelah meronce, kami coba “menjahit kertas”.

Saya bikin pola sederhana di karton, gambar hati atau bintang, lalu lubangi dengan pelubang kertas.

Dia pakai tali wol untuk “menjahit” mengikuti garis.

Nggak cuma melatih motorik, ini juga ngajarin fokus dan ketelitian.

Kadang dia bikin pola sendiri dan kasih nama-nama aneh kayak “jahitan robot ninja”, dan saya biarin aja. Yang penting dia terlibat.

Kegiatan ini cocok banget untuk anak usia 3 sampai 7 tahun.

Di usia itu, mereka sedang masa keemasan untuk melatih keterampilan kecil seperti menggenggam, menggunting, dan menyusun.

Kalau terlalu banyak screen time, kemampuan ini bisa terhambat.

BACA JUGA:  Apa itu Golden Age Anak? Panduan di Masa Emas Tumbuh Kembang

Tapi dengan aktivitas sederhana kayak meronce atau menjahit, mereka bisa berkembang sambil tetap senang.

Tips dari saya: jangan terlalu fokus pada hasilnya.

Kadang roncenya berantakan, atau jahitannya bolong-bolong. Tapi prosesnya itu yang penting.

Waktu mereka berhasil masukkan satu manik ke tali, ekspresinya tuh… priceless banget.

Dan percaya deh, ini latihan diam-diam buat nulis, mewarnai, bahkan makan sendiri tanpa tumpah-tumpah.

Kalau Anda punya waktu 15–20 menit sehari, coba deh ajak anak untuk kegiatan kayak gini.

Nggak ribet, nggak mahal, dan manfaatnya luar biasa buat perkembangan anak jangka panjang.

4. Membuat Kerajinan Tangan dari Barang Bekas

Saya pernah ngeluh ke suami, “Rumah kita penuh sampah kardus dan botol kosong.”

Eh, ternyata anak saya malah lihat itu sebagai harta karun.

Dia ambil kotak susu bekas, tempelin tutup botol, kasih sedotan, dan dengan bangga bilang, “Ini robot penjaga!”

Sejak saat itu, saya mulai menganggap barang bekas itu bukan sampah, tapi peluang buat melatih kreativitas anak.

Kami mulai bikin aktivitas rutin: kerajinan tangan dari barang bekas setiap akhir pekan.

Saya simpan semua kardus kecil, gulungan tisu, botol plastik, dan kertas bekas di satu dus. Lalu biarin anak saya milih sendiri mau bikin apa.

Kadang dia bikin “rumah kelinci” dari karton, kadang “bunga pelangi” dari sedotan dan tutup botol.

Idenya kadang absurd sih, tapi saya biarin aja. Karena dari sanalah muncul keberanian berekspresi tanpa takut salah.

Yang saya suka, kegiatan ini nggak cuma mengasah kreativitas, tapi juga ngajarin anak tentang kesadaran lingkungan.

Saya jelasin bahwa kita bisa pakai ulang barang, supaya nggak semuanya dibuang.

Anak saya sekarang malah suka ngomel kalau saya buang botol: “Jangan dibuang, itu bisa jadi roket, Ma!”

Selain itu, momen bikin kerajinan bareng anak jadi waktu bonding yang spesial.

Nggak ada layar, nggak ada distraksi. Cuma kami, gunting, lem, dan tumpukan barang bekas.

Kadang hasilnya jelek, lemnya belepotan, warnanya tabrakan.

Tapi justru itu yang bikin seru. Kami ketawa bareng, dan anak saya merasa bangga karena orang tuanya mau “masuk dunianya.”

Kalau Anda bingung mau ngapain bareng anak selain nonton TV, coba deh mulai dari sini.

Nggak perlu beli bahan mahal, justru makin sederhana, makin kreatif.

Yang penting: sediakan waktu, sediakan tempat (walau cuma meja kecil), dan biarkan anak Anda berimajinasi.

5. Berkebun Mini di Rumah

Saya bukan orang yang tangannya “dingin” soal tanaman. Dulu, coba tanam kaktus aja mati.

Tapi semua berubah waktu anak saya pulang dari sekolah sambil bawa botol plastik berisi tanah dan dua biji kacang hijau.

Katanya, itu tugas menanam dari gurunya.

Saya bantu siram tiap pagi, dan setelah seminggu… muncullah tunas kecil mungil yang bikin kami berdua heboh bukan main.

Sejak itu, kami mulai berkebun mini di rumah.

Kami nggak punya halaman, jadi cukup pakai pot kecil di jendela dapur dan rak bekas di balkon.

Yang pertama kami tanam: kangkung, karena gampang tumbuh dan bisa panen dalam waktu singkat.

Lalu nyoba tomat cherry, daun bawang, bahkan bunga kertas warna ungu yang akhirnya jadi kesayangan anak saya.

Lewat kegiatan ini, saya lihat anak saya belajar banyak banget.

Dia jadi lebih peduli sama lingkungan sekitar.

Dia juga mulai ngerti bahwa makhluk hidup itu perlu dirawat, disiram, dijemur, dipindah kalau kepanasan.

Kadang dia ngomong sendiri ke tanamannya, “Semangat tumbuh, ya!” dan itu lucu banget, tapi juga menyentuh.

Karena dari situ, saya tahu dia mulai punya rasa tanggung jawab.

Yang saya nggak sangka, berkebun juga ngajarin kesabaran.

Anak-anak itu kan biasanya pengin hasil cepat.

Tapi dengan menanam, mereka belajar bahwa segala sesuatu butuh proses.

Hari ini ditanam, besok belum tentu tumbuh. Harus sabar. Harus konsisten.

Dan kalau gagal? Ya coba lagi.

Kami pernah gagal total nanam cabai, nggak satu pun yang tumbuh.

Tapi justru dari situ dia belajar bahwa gagal itu bukan akhir.

Berkebun juga bisa jadi ajang ngobrol yang alami.

Saat nyiram tanaman, kami bahas macam-macam, dari kenapa daun jadi kuning, sampai kenapa hujan nggak turun.

Dan jujur, itu obrolan yang nggak akan keluar kalau kami lagi duduk di depan TV.

Kalau Anda ingin anak belajar disiplin, tanggung jawab, dan menghargai kehidupan, cobalah berkebun bareng.

Mulai dari yang simpel. Botol bekas, tanah, dan beberapa biji kangkung pun cukup.

BACA JUGA:  Perbedaan Anak Cengeng vs Anak Sensitif (dan Cara Menghadapinya)

Yang penting bukan seberapa hijau tanamannya, tapi seberapa pesat bertumbuhnya hubungan Anda dan anak selama proses itu.

6. Permainan Edukatif Seperti Ular Tangga dan Tebak Kata

Saya tumbuh besar dengan permainan papan (board game).

Ular tangga, monopoli, tebak kata pakai kartu buatan sendiri, semua itu bikin masa kecil saya penuh tawa (dan sedikit curang, hehe).

Jadi ketika anak saya mulai kecanduan game di tablet, saya putuskan untuk ngenalin dia ke “versi jadul” dari game modern: permainan edukatif yang bisa disentuh, digeser, dan dimainkan bareng.

Kami mulai dari yang sederhana: ular tangga buatan sendiri.

Saya dan anak saya gambar kotaknya di kardus bekas, pakai spidol warna-warni, dan gambar sendiri ular yang senyum (dan ada juga yang galak, katanya biar seru).

Angka 1 sampai 100 kami tulis satu per satu, sambil saya bantu dia baca angkanya pelan-pelan.

Dadu? Pakai dadu bekas mainan lain. Pion? Pakai tutup botol.

Murah meriah tapi efeknya luar biasa.

Dia bukan cuma main, tapi juga belajar angka, urutan, dan berhitung mundur.

Setelah itu, kami coba tebak kata. Saya bikin kartu dari potongan kertas kecil.

Satu sisi ada gambar (kayak apel, mobil, rumah), sisi lain ada kata tulisannya.

Kadang saya kasih petunjuk: “Benda yang warnanya merah dan bisa dimakan.”

Dia jawab, “Apel!” dan langsung saya kasih kartunya.

Permainan ini melatih kosa kata dan daya ingatnya, sambil tetap fun.

Kadang dia malah minta gilirannya jadi yang kasih pertanyaan, dan saya harus tebak.

Giliran saya salah, dia ngakak setengah mati.

Yang saya suka dari permainan model begini adalah: anak belajar tanpa merasa dipaksa belajar.

Mereka asyik karena merasa ini main-main.

Tapi di balik itu, mereka sedang mengembangkan literasi, logika, dan interaksi sosial.

Bahkan anak saya yang biasanya susah fokus, bisa duduk sampai 30 menit penuh hanya untuk “ngalahin ular galak” di papan buatan kami.

Buat Anda yang merasa anak terlalu sering main game digital, coba balikkan ke permainan klasik.

Buatlah versi sendiri. Nggak harus rapi atau sempurna, yang penting anak Anda merasa dilibatkan dan tertantang.

Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada mendengar anak tertawa sambil bilang, “Besok main lagi, ya Ma!” karena artinya mereka belajar… dan suka.

7. Bercerita dan Membuat Buku Sendiri

Satu malam, anak saya minta diceritakan kisah “Si Kancil dan Buaya.”

Saya ceritakan versi yang saya tahu, tapi dia langsung protes, “Kenapa buayanya jahat terus? Gimana kalau kali ini kancilnya ngajak buaya main bareng aja?”

Saya kaget. Lalu saya jawab, “Wah, boleh juga. Coba kamu gambar deh versi ceritamu.”

Dari situ, lahirlah ide buat bikin buku cerita versi sendiri.

Kami ambil kertas A4, dilipat dua jadi seperti buku kecil.

Saya bantu tulis ceritanya (karena dia masih belajar menulis), dan dia yang gambar tiap halamannya.

  • Halaman 1: Kancil ngajak buaya main petak umpet.
  • Halaman 2: Buaya ngumpet di balik batu, tapi buntutnya kelihatan.
  • Halaman 3: Mereka ketawa bareng. Nggak ada tokoh jahat. Cuma dua binatang yang main bareng dan saling bantu.

Lewat kegiatan ini, saya sadar anak saya bisa menuangkan imajinasinya dengan bebas, tanpa batasan.

Saya juga pelan-pelan ajak dia menyusun alur cerita: ada awal, tengah, dan akhir.

Kadang dia bingung mau lanjut ke mana, saya bantu kasih pertanyaan pancingan: “Lalu, apa yang terjadi setelah itu?”

Itu cara halus untuk melatih kemampuan naratif dan berpikir logis.

Kami sekarang punya koleksi 5 buku buatan sendiri.

Judulnya kadang aneh: “Gajah Yang Takut Es Krim,” atau “Naga yang Suka Hujan.”

Tapi setiap buku punya cerita, dan yang paling penting, punya nilai emosional yang besar karena dibuat bareng-bareng.

Bahkan anak saya pernah bawa satu bukunya ke sekolah, dan gurunya minta izin buat ditampilkan di papan cerita kelas.

Kalau Anda ingin anak lebih ekspresif dalam bercerita dan berpikir kreatif, kegiatan ini wajib dicoba.

Nggak perlu bisa gambar bagus atau tulis rapi.

Yang penting, anak bisa melihat bahwa pikirannya bisa diwujudkan dalam bentuk nyata.

Dan percayalah, saat mereka pegang buku buatan mereka sendiri, wajah bangganya itu… priceless.

Ini bukan soal hasil akhirnya, tapi soal prosesnya, menulis, menggambar, bercerita, dan tertawa bareng.

Karena dari sinilah lahir bukan hanya kreativitas, tapi juga kedekatan yang kuat antara anak dan orang tua.[]

Terkait

  • Menerapkan Metode Montessori di Rumah: Bisa Nggak Sih?
  • Apa itu Golden Age Anak? Panduan di Masa Emas Tumbuh Kembang
  • Perbedaan Anak Cengeng vs Anak Sensitif (dan Cara Menghadapinya)
  • 7 Tanda Anak Siap Masuk TK (Bukan Cuma Usia Saja!)
  • Rutinitas Malam Hari untuk Balita agar Tidur Tepat Waktu
  • Cara Bicara ke Suami Kalau Ibu Sudah Capek Banget

Filed Under: Edukasi & Psikologi Anak Tagged With: belajar anak, gadget

Primary Sidebar

More to See

Kapan Anak Harus ke Dokter Gigi untuk Pertama Kali?

7 Tanda Anak Siap Masuk TK (Bukan Cuma Usia Saja!)

Copyright © 2025 · IbuJuara.com