• Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Home
  • About
Ibu Juara

Ibu Juara

Tips Kehamilan & Parenting

Apa itu Golden Age Anak? Panduan di Masa Emas Tumbuh Kembang

IbuJuara.com - Tips Kehamilan & Parenting


Tahukah Anda bahwa 80% perkembangan otak anak terjadi sebelum usia 5 tahun?

Masa ini sering disebut sebagai golden age atau fase emas di mana setiap stimulasi bisa berdampak besar pada masa depan anak.

Saya sendiri baru benar-benar menyadarinya setelah melihat perubahan drastis pada anak saya saat usia 0–6 tahun.

Artikel ini ditujukan buat para orang tua yang ingin memberikan bekal terbaik sejak dini.

Yuk, kita bahas apa itu golden age anak, kenapa krusial banget, dan apa saja yang harus dilakukan selama masa ini!

Table of Contents

Toggle
  • Pengertian Golden Age Anak dan Rentang Usianya
  • Perkembangan Otak Anak dalam Masa Golden Age
  • Peran Orang Tua dalam Mendukung Golden Age Anak
  • Aktivitas dan Stimulasi Positif yang Disarankan
  • Pentingnya Nutrisi, Emosi, dan Rutinitas Seimbang
  • Kesalahan Umum yang Harus Dihindari

Pengertian Golden Age Anak dan Rentang Usianya

Saat anak pertama lahir, golden age adalah konsep yang pada awalnya saya masih belum sepenuhnya paham.

Yang saya tahu cuma: bayi nangis = digendong, lapar = disusuin, dan kalau pipis = ganti popok.

Setelah ikut penyuluhan parenting di posyandu, dari situ saya denger istilah “masa emas perkembangan anak“.

Sekilas terdengar kayak istilah promosi susu formula, tapi ternyata penting banget.

Golden age itu sebenarnya masa di mana perkembangan otak dan karakter anak terjadi dengan sangat cepat.

Bahasa gampangnya: anak kayak spons, nyerap semua yang dia lihat, dengar, dan rasain.

Dan ini nggak cuma teori doang, lho. Ada penelitian dari Harvard dan WHO yang bilang bahwa 80–90% struktur otak terbentuk sempurna di usia 0 sampai 6 tahun.

Jadi ya, masa ini bener-bener jadi fondasi buat masa depan anak.

Kalau ngomongin usia, biasanya golden age dimulai dari lahir sampai sekitar usia 6 tahun.

Tapi beberapa ahli bilang fase paling kritis itu di 1000 hari pertama, dari sejak dalam kandungan sampai anak umur 2 tahun.

Saya jadi ingat, dulu waktu anak saya umur 1 tahun, dia bisa niru suara motor, lagu jingle iklan, bahkan ekspresi wajah saya yang lagi kesel.

Serem juga sih, tapi itu bukti nyata kalau otaknya on fire menyerap segalanya.

Kenapa dibilang “emas”? Karena sekali masa ini lewat, ya lewat aja. Nggak bisa diulang.

Misalnya, kalau anak nggak dapat stimulasi bicara yang cukup di usia 1–3 tahun, kemungkinan besar kemampuan bahasanya bakal lebih lambat berkembang.

Ada kasus dimana anak agak telat ngomong karena lebih sering nonton TV dibanding diajak ngobrol.

Huhu, penyesalan datang belakangan emang.

Bedanya masa golden age sama fase usia lainnya?

Di masa ini, neuroplastisitas otak anak masih tinggi banget.

Artinya, otaknya masih fleksibel dan gampang dibentuk.

Tapi justru karena fleksibel itu, kalau dapat stimulasi positif dia bisa berkembang luar biasa, tapi kalau yang masuk justru trauma atau kekerasan… ya, bekasnya bisa nempel sampai gede.

Jadi, buat saya pribadi, memahami apa itu golden age itu kayak punya peta.

Bukan biar jadi orang tua sempurna, tapi biar saya nggak asal jalan dan bisa kasih yang terbaik di saat yang paling berdampak.

Sekarang, anak saya saya ajak ngobrol, peluk, bacain buku, hal-hal kecil yang dulu saya anggap remeh, ternyata efeknya besar banget di masa emas ini.

Perkembangan Otak Anak dalam Masa Golden Age

Saya baru ngeh betapa luar biasanya perkembangan otak anak waktu anak pertama saya mulai bisa meniru nada bicara saya pas usia 1 tahun.

Bayangin aja, baru bisa jalan, tapi udah bisa intonasi “eh, jangan!” kayak mamanya. 😅

Dari situ saya tahu ternyata, usia 0–3 tahun itu fase paling gila-gilaan buat perkembangan otak manusia.

Waktu lahir, otak bayi punya sekitar 100 miliar neuron, tapi koneksi antar-neuron itu baru mulai dibentuk lewat pengalaman dan interaksi.

Jadi, makin sering anak diajak ngobrol, disentuh dengan lembut, dikasih mainan edukatif, atau bahkan hanya diajak jalan-jalan keliling rumah sambil diajak ngobrol, itu semua bikin koneksi saraf di otaknya meledak-ledak jumlahnya.

Fenomena ini disebut sebagai synaptogenesis.

Dan ini kerennya: setiap detik, ada lebih dari 1 juta koneksi saraf yang terbentuk di otak anak usia dini.

BACA JUGA:  Menerapkan Metode Montessori di Rumah: Bisa Nggak Sih?

Gila, kan? Tapi sekaligus ngeri juga.

Karena otaknya masih dalam kondisi plastic alias lentur banget, mudah dibentuk, tapi juga rentan rusak.

Jadi kalau yang sering dia lihat atau dengar adalah teriakan, gadget tanpa interaksi, atau kekerasan… ya, itulah yang tertanam di otaknya.

Saya sempat merasa bersalah waktu sadar bahwa anak saya pernah terlalu sering dikasih screen time tanpa ditemani.

Emang sih, kelihatannya dia anteng, tapi saya perhatiin, dia jadi lebih pasif waktu main sama orang.

Baru saya tahu belakangan, stimulasi yang nggak aktif (seperti nonton tanpa interaksi) justru bikin otak berkembang lebih lambat dibanding stimulasi yang melibatkan sentuhan, suara manusia, dan respon emosional.

Di sisi lain, kalau stimulasi cukup dan seimbang, hasilnya bisa luar biasa.

Teman saya punya anak umur 2 tahun yang bisa dua bahasa: Indonesia dan Inggris.

Saya kira dia les privat, ternyata nggak. Cuma karena mamanya rajin bacain buku bilingual sejak bayi, dan sering ngajak ngobrol pakai dua bahasa sehari-hari.

Fakta ilmiahnya, memang anak usia golden age punya kemampuan alami menyerap banyak bahasa tanpa bingung, asal dilakukan konsisten dan nggak dipaksain.

Tapi, ini bukan tentang bikin anak jadi jenius ya.

Buat saya, yang penting itu memberi kesempatan dan pengalaman beragam yang bisa jadi bahan otaknya berkembang.

Main pasir, main air, mainan kayu sederhana… semua itu lebih berharga daripada mainan mahal yang cuma nyala lampu doang.

Makanya sekarang, tiap kali saya main sama anak, saya nggak ngerasa itu buang waktu.

Itu investasi. Bukan uang, tapi investasi koneksi otak dan emosi yang akan jadi bekal seumur hidup mereka.

Peran Orang Tua dalam Mendukung Golden Age Anak

Satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa pengaruh orang tua di masa golden age anak itu besar banget.

Saya pikir dulu, asal anak kenyang, bersih, dan sehat, udah cukup.

Tapi ternyata, justru stimulasi dari orang tua, bukan mainan mahal atau gadget canggih yang jadi fondasi utama perkembangan otaknya.

Waktu anak pertama saya lahir, saya nggak tahu harus ngapain.

Saya cuma peluk, nyanyi pelan, dan ajak ngobrol sambil gendong.

Ternyata itu termasuk stimulasi paling dasar dan penting.

Sentuhan lembut, tatapan mata, suara ibu atau ayah, semuanya memperkuat koneksi emosi dan otak anak.

Bahkan saat kita cuma bilang, “ini bola ya, warnanya merah,” otak anak sedang bikin koneksi baru.

Sekecil itu efeknya? Iya. Tapi berulang kali? Dahsyat!

Lingkungan juga punya pengaruh gede.

Saya ingat, ada masa saya terlalu stres sama kerjaan, dan rumah jadi nggak kondusif, suara marah-marah, tegang, sering terjadi.

Anak saya waktu itu baru 2 tahun. Dia belum bisa ngomong lancar, tapi dia mulai suka lempar mainan dan jerit kalau hal kecil nggak sesuai.

Baru saya sadari, anak meniru emosi dan cara berinteraksi dari kita.

Kita panik = dia panik. Kita sabar = dia ikut belajar tenang.

Yang paling menyayat hati? Saya pernah nggak sengaja ngomel dengan nada tinggi karena dia tumpahin susu.

Keesokan harinya, dia ngomel-ngomel mainan sambil meniru gaya bicara saya.

Astaga, langsung nyesek.

Dari situ saya belajar banget bahwa kekerasan verbal sekecil apa pun bisa nempel di otaknya, bahkan kalau kita cuma mikir itu “sekadar ngomel.”

Anak-anak itu nggak butuh orang tua yang sempurna.

Tapi mereka butuh orang tua yang hadir dan konsisten.

Dalam dunia pendidikan, sering disebut bahwa orang tua adalah guru pertama dan utama.

Bukan cuma ngajarin huruf atau angka, tapi ngajarin cara bersikap, mengelola emosi, menghadapi masalah.

Sekarang saya lebih sadar buat kasih ruang eksplorasi yang aman.

Saya biarin dia gagal, jatuh, marah, asal saya di situ buat bantu dia bangkit dan belajar.

Karena pada akhirnya, kita bukan hanya membesarkan anak, tapi juga membentuk manusia.

Dan masa golden age ini adalah fase di mana bentuk itu sedang “dibentuk”.

Jadi buat Anda yang lagi capek banget jadi orang tua, yakinlah semua upaya kecil kita sekarang, dari ngajak main sampai sabar menjawab 50x pertanyaan “kenapa” itu bukan hal sia-sia.

BACA JUGA:  Main dan Belajar: 7 Aktivitas Edukatif di Rumah Tanpa Gadget

Itu kerja keras yang lagi ngebangun masa depan anak kita, bata demi bata. 💛

Aktivitas dan Stimulasi Positif yang Disarankan

Satu pelajaran penting, stimulasi tidak harus bersumber dari sesuatu yang ribet dan “niat banget”, kayak harus beli mainan mahal atau ikut kelas Montessori.

Ternyata, justru hal-hal simpel sehari-hari justru menghasilkan efek paling berdampak.

Saya memahami hal ini waktu anak saya lebih milih main sendok dan mangkuk bekas di dapur dibanding mainan baterai yang mahal. 😅

Dan dari situ saya sadar: anak butuh eksplorasi, bukan hiburan.

Puzzle sederhana, balok kayu, atau lego duplo jadi andalan kami di rumah.

Nggak cuma melatih logika dan koordinasi tangan-mata, tapi juga ngajarin anak sabar dan fokus.

Kadang kami bikin cerita bareng dari lego yang dia susun. Satu waktu dia bilang itu robot, besoknya jadi dinosaurus.

Imajinasi mereka luar biasa, kita tinggal ikutan main dan kasih respons.

Mainan edukatif lain yang kami pakai adalah permainan peran.

Anak saya suka pura-pura jadi dokter dan saya pasiennya.

Dia ambil botol bekas lotion, bilang itu “obat batuk”, lalu saya disuruh “tidur dan jangan main HP.” Kena banget sih. 😂

Tapi di situlah saya lihat perkembangan empati dan kemampuan narasi dia pelan-pelan terbentuk.

Satu kebiasaan yang kami tanamkan dari bayi: membacakan buku.

Bahkan sejak dia belum bisa duduk, saya udah bacain buku kain.

Kadang dia cuma gigit-gigit, tapi suara kita masuk ke otaknya.

Sekarang dia udah bisa milih buku favoritnya sendiri, dan kadang ngajak baca sambil menirukan cerita.

Menurut saya, ini salah satu stimulasi paling penting karena membangun kosa kata, struktur bahasa, dan bonding emosional.

Saya juga mulai sadar pentingnya mengenalkan warna, suara, tekstur, dan musik sejak dini.

Kita pasang gambar warna-warni di dinding, nyalain musik klasik atau lagu anak, kasih mainan dari berbagai bahan, plastik, kain, kayu.

Anak jadi terbiasa mengenal dunia lewat semua inderanya.

Bahkan mandi pun jadi momen belajar: air hangat, sabun berbusa, suara cipratan air, semua bisa jadi stimulasi sensorik.

Nah, buat motorik kasar, saya biarin dia lari-lari, lompat-lompat di rumah, atau naik turun tangga sambil diawasi.

Sementara motorik halus saya latih dengan kegiatan kayak masukkan kancing ke dalam botol, sobek kertas, atau pakai sendok sendiri waktu makan.

Jangan takut berantakan. Karena di balik kekacauan itu, ada neuron yang lagi tumbuh dan terhubung.

Yang paling penting dari semua ini? Konsistensi dan keterlibatan kita sebagai orang tua.

Bukan soal aktivitas mana yang paling keren, tapi seberapa sering kita hadir, ikut main, ikut baca, ikut bercanda.

Karena di masa golden age, anak nggak butuh mainan paling mahal… mereka butuh orang tua yang mau main bareng.

Pentingnya Nutrisi, Emosi, dan Rutinitas Seimbang

Pernah ngalamin masa di mana anak rewel terus, gampang tantrum, dan susah banget fokus?

Bisa jadi itu bukan sekedar fase yang akan berlalu dengan sendirinya serta ada sebab yang mendasarinya.

Dalam konteks pengasuhan anak, ternyata semuanya saling berkaitan: makan, tidur, emosi, dan rutinitas.

Dan semuanya itu fondasi penting banget di masa golden age.

Pertama soal nutrisi. Dulu saya nggak terlalu paham pentingnya lemak sehat, zat besi, dan DHA buat pertumbuhan otak.

Pokoknya asal anak kenyang dan mau makan, saya anggap aman.

Ternyata, anak butuh makanan yang padat gizi, bukan cuma nasi dan ayam tiap hari.

Sekarang saya usahakan kasih variasi: alpukat, ikan, telur, sayuran warna-warni, plus camilan sehat kayak potongan buah dingin.

Nggak selalu berhasil, tapi saya belajar: nutrisi yang baik bantu banget anak lebih fokus dan nggak gampang cranky.

Lalu soal tidur. Ini PR besar buat saya.

Ada masa di mana anak saya sering tidur larut, bangun pagi, lalu jadi rewel sepanjang hari.

BACA JUGA:  Perbedaan Anak Cengeng vs Anak Sensitif (dan Cara Menghadapinya)

Ternyata, anak usia 0–6 tahun butuh sekitar 10–13 jam tidur tiap hari.

Dan bukan cuma soal kuantitas, tapi juga kualitasnya.

Begitu saya mulai konsisten bikin rutinitas tidur: mandi sore, baca buku, lampu redup, anak saya jadi lebih tenang, bangun pun lebih segar.

Yang nggak kalah penting: kondisi emosional anak. Ini yang dulu sering saya abaikan.

Kadang kita mikir, “ah, masih kecil, belum ngerti apa-apa.”

Padahal anak itu peka banget. Kalau kita lagi stres atau marah, mereka bisa ngerasa.

Saya pernah habis berdebat sama suami, eh anak saya malah merengek terus dan nggak mau makan.

Dari situ saya belajar, emosi kita menular.

Makanya sekarang saya usahain untuk ngelola emosi saya juga karena itu bagian dari “memberi makan” ke hati anak.

Terakhir, soal rutinitas harian. Anak saya itu tipe yang gampang gelisah kalau jadwalnya berantakan.

Saya kira fleksibel itu bagus, tapi ternyata anak butuh rutinitas buat ngerasa aman.

Sekarang kami punya jadwal harian yang santai tapi jelas: bangun, sarapan, waktu main, makan siang, tidur siang, dan seterusnya.

Nggak harus kaku kayak jadwal militer sih, yang penting ada pola yang bisa ditebak.

Dari pengalaman saya, yang paling terasa adalah: kalau nutrisi oke, emosi stabil, dan rutinitas terjaga, anak jadi lebih bahagia, lebih mudah diarahkan, dan tumbuh dengan tenang.

Jadi, kalau Anda lagi ngerasa anak susah diatur atau sering tantrum, coba cek tiga hal ini dulu.

Kadang bukan anaknya yang “bandel”, tapi karena basic needs-nya belum terpenuhi secara menyeluruh.

Kesalahan Umum yang Harus Dihindari

Saya harus akui: banyak dari kesalahan ini saya sendiri pernah lakukan.

Nggak sekali dua kali, tapi sering banget, apalagi waktu anak pertama.

Dan saya sadar, bukan karena nggak sayang, tapi karena kurang tahu.

Makanya saya tulis bagian ini biar Anda nggak perlu ngulangin kesalahan saya.

Kesalahan pertama: menunda stimulasi karena anggap anak masih bayi.

Saya dulu mikir, “Nanti aja ngajarin warna atau baca buku, sekarang kan masih belum ngerti.”

Tapi ternyata itu justru momen paling penting. Otak anak paling aktif menyerap justru saat belum bisa bicara atau merespons banyak.

Stimulasinya nggak harus rumit kok, cukup ajak ngobrol, peluk, tatap mata, dan bacain buku dengan suara pelan.

Bayi itu kayak spons, menyerap semuanya, termasuk nada dan emosi kita.

Lalu yang kedua, dan ini sempat bikin saya ketampar, terlalu sering kasih screen time tanpa interaksi.

Saya tahu rasanya capek banget jadi orang tua, apalagi kalau harus kerja juga.

Jadi waktu anak nonton YouTube dan diem anteng, rasanya kayak “surga”.

Tapi ternyata, screen time pasif tanpa didampingi bisa memperlambat kemampuan bicara dan sosial anak.

Saya lihat sendiri, waktu saya mulai batasi dan temani dia saat nonton, sambil nanya, ngajak ngobrol soal yang ditonton, anak jadi lebih interaktif dan ekspresif.

Kesalahan ketiga, yang sering banget terjadi tanpa sadar: membandingkan anak, baik dengan kakaknya, sepupunya, atau anak temen.

Kadang niatnya motivasi, tapi hasilnya malah bikin anak minder.

Saya pernah bilang, “Kok kamu belum bisa ngomong kayak A ya?”

Eh besoknya anak saya jadi lebih diam dan murung.

Dari situ saya belajar: anak berkembang sesuai waktunya masing-masing.

Dan setiap anak unik, bukan fotokopi satu sama lain.

Terakhir, dan ini penting banget, tidak memahami gaya belajar anak.

Saya sempat frustrasi karena anak saya susah banget duduk diam belajar alfabet.

Tapi waktu saya ganti jadi aktivitas fisik sambil nyanyi (kayak lompat sambil bilang huruf), dia malah cepat banget nyerap.

Baru deh saya ngerti bahwa anak saya tipe kinestetik, bukan visual atau auditori. Dan dari situ, semua jadi lebih mudah.

Jadi intinya: yes, kita pasti bikin kesalahan.

Tapi selama kita mau belajar dan refleksi, anak kita tetap bisa tumbuh luar biasa.

Masa golden age itu bukan tentang jadi orang tua sempurna, tapi tentang hadir, belajar, dan memperbaiki.[]

Terkait

  • Menerapkan Metode Montessori di Rumah: Bisa Nggak Sih?
  • 7 Tanda Anak Siap Masuk TK (Bukan Cuma Usia Saja!)
  • Perbedaan Anak Cengeng vs Anak Sensitif (dan Cara Menghadapinya)
  • Main dan Belajar: 7 Aktivitas Edukatif di Rumah Tanpa Gadget
  • Kapan Anak Harus ke Dokter Gigi untuk Pertama Kali?
  • Rutinitas Malam Hari untuk Balita agar Tidur Tepat Waktu

Filed Under: Edukasi & Psikologi Anak Tagged With: golden age anak, perkembangan anak

Primary Sidebar

More to See

Kapan Anak Harus ke Dokter Gigi untuk Pertama Kali?

7 Tanda Anak Siap Masuk TK (Bukan Cuma Usia Saja!)

Copyright © 2025 · IbuJuara.com